By Risty Nandaditya
Seperti biasa setiap hari minggu ibu Mia selalu membuat heikeng sebagai lauk-pauk keluarga. Mia pasti menjadi orang pertama yang duduk di meja makan. Ia tak ingin heikeng buatan ibunya terjamah dahulu oleh orang lain selain dirinya. Sekalipun ia anak sulung, ia tak ingin kalah dengan Hani adiknya yang berusia 4 tahun lebih muda darinya. Mia dan Hani tak jarang bertengkar. Masalah apalagi kalau bukan makanan. Terkadang ibunya sendiri harus turun tangan melerai kedua kakak beradik itu. Sedangkan, ayah hanya sibuk memberi makan si Fito burung tekukur yang baru dibelinya enam bulan yang lalu.
Asap putih tipis menyeruak di balik tudung saji. Aromanya kini menghantam indra penciuman Mia. Lidahnya kian menari-nari menelan air liur yang tertahan. Matanya tak luput dari tudung saji biru yang mungil itu. Badannya tegap seakan siap berperang untuk menjajal semua heikeng masuk ke dalam perut. Betapa perutnya seperti disodok jarum. Perih. Ia sanggup menahan lapar demi sepiring heikeng buatan ibu.
"Awas ya heikeng nya diambil!!!" pekik ibu kepada Mia.
"Ah, ibu nih ngagetin Mia aja."
"Jangan diliatin terus gitu dong heikengnya, itu kan buat keluarganya Helmi." Sorot mata sang Ibu lekat kepada Mia sambil menggoreng heikeng.
"Yah ibu, Mia nih udah laper banget, Bu!!!" sahutnya sambil manyun.
"Iya ibu tahu, tapi kamu anter dulu kerumahnya Helmi sana, abis itu kamu boleh makan heikeng sepuasnya."
"Ah, nggak mau, Helmi itu sombong, Bu." Mia menggeleng cepat sementara alis tebalnya saling bertemu.
"Loh, bukannya kamu naksir ya dulu sama Helmi," gurau Ibu
"Itu kan dulu, Bu," semprot Mia kesal.
"Loh, apa bedanya dulu dan sekarang?" Ibu tersenyum.
"Ah, ibu ledekin aja terus anaknya, yaudah sini."
Mia lantas bangkit sambil mengambil cepat sepiring heikeng itu. Sungguh. Aroma heikeng itu kembali menyodok hidung Mia. Perutnya terasa semakin tertusuk. Namun, itu tak membuatnya kalah dari pentingnya amanah seorang ibu.
***
"Assalamualaikum...Assalamualaikum...." Berkali-kali Mia mengucap salam namun tak ada jawaban.
"Mama nggak ada!!!" Sekitar semenit kemudian terdengar suara teriakan dari dalam. Mendadak air muka Mia berubah.
"Aku cuma mau kasi ini Helmi, ibu aku yang titip," pekik Mia namun pintu tak kunjung dibuka.
"Ya udah taruh di depan aja."
"Tapi, aku kan mau ambil piringnya lagi, Hel."
"Kamu itu niat gak sih ngasihnya???"
Mia terdiam. Telinganya begitu panas hingga menyambar sampai ke hati. Kepala, otaknya bahkan kini seluruh sistemnya seperti sedang diselimuti lahar panas. Bibirnya tak mampu berujar. Namun, untuk kesekian kalinya ia menerima pesan dari otaknya. Mengapa dulu bisa jatuh cinta sama orang seperti ini? Tiba-tiba seseorang dari balik pintu keluar.
"Aku kan udah bilang taruh aja didepan, ngerti bahasa Indonesia gak sih?" tukas Helmi
"Iya, tapi aku kan mau ambil piringnya lagi." Mata Mia menyipit. Suaranya naik satu oktaf.
"Yaudah sini !!!" Helmi mengambil dengan cepat sepiring heikeng dari tangan Mia. Lantas ia masuk kedalam lagi untuk mencuci piring.
Sementara, Mia masih bersungut-sungut. Wajahnya yang putih bening memerah seperti udang rebus. Kedua sudut bibir ia buat turun ke bawah. Ia berjanji tak akan mengubah wajahnya sampai Helmi kembali di muka pintu.
"Nih... udah aku cuci bersih!!!"
"Bagus deh kalo gitu." Mia biarkan wajahnya membuang ke kanan. Tangan kirinya tercekak di pinggang sementara tangan kanannya menengadah ke arah Helmi untuk mengambil piring heikeng tadi.
"Bilang makasi sama ibu kamu."
Besar-besar Mia melangkah sambil menuju rumah dengan raut wajah tertekuk. Sudah kesekian kalinya ia mendapati hal seperti ini. Ia harus selalu mengukir cerita buruk setelah pulang mengantar sepiring heikeng setiap minggunya. Helmi tetangga paling menjengkelkan sedunia. Itulah kalimat yang acap kali ia lontarkan. Betapa ia sangat bodoh dulunya bisa menyukai Helmi. Anak pindahan dari Jakarta 2 tahun yang lalu itu memang dengan mudah membuat Mia jatuh cinta. Bahkan, Mia dulu selalu mengintip Helmi bermain basket di halaman rumahnya.Tapi, ia tersadar semua hal yang telah ia lakukan salah. Bahkan sangat fatal. Harusnya tanah Kalimantan tak boleh menerima orang pindahan seperti Helmi.
"Gimana Mia, mamanya Helmi udah terima." Ibu keluar sambil melipat celemeknya.
"Yang terima anaknya Ma, tante Yeni lagi nggak ada."
"Udah, makan dulu, heikeng buat kamu udah ada di dapur tuh."
Bentuk wajah Mia kini kembali seperti semula. Hatinya yang tadi terselimuti lahar panas kini berubah menjadi lahar dingin yang segar. Segera ia berlari menuju dapur. Mencomot sebuah heikeng yang masih hangat setelah akhirnya mengambil setumpuk nasi. Disusul dengan derap langkah Hani yang lincah dan ayah yang tak mau ketinggalan menyoletkan heikeng dengan saus madu pedas buatannya sendiri. Kress... Kress...Kress. Begitulah kiranya bunyi daripada heikeng lumpia yang mendarat di setiap lidah anak beranak ini. Sudah lama Mia sadari kerenyahan heikeng buatan ibunya selalu membuatnya lupa dengan kekesalan yang hampir terjadi setiap minggunya.
***
Gadis berusia 15 tahun ini dirundung gelisah. Apa lagi tindakan yang Helmi lakukan terhadapnya pagi ini? Ia sudah menerka-nerka apa yang terjadi. Helmi yang berdiri di depan muka pintu sambil memasang wajah tak senang seakan terusik dengan kehadiran Mia. Ia memutuskan untuk membujuk ibu agar Hani yang mengantar sepiring heikeng pagi ini kerumah Helmi.
"Bu, hari ini Hani aja ya yang nganterin heikeng kerumah Helmi?" bujuknya.
"Kamu ini gimana sih, kamu gak sadar daritadi Hani gak ada, dia kan ada les biola pagi ini." Ibu berkata sambil menggoreng heikeng selanjutnya. Pekerjaan yang kerap kali ia lakukan setiap minggu.
"Kamu ini gimana sih, kamu gak sadar daritadi Hani gak ada, dia kan ada les biola pagi ini." Ibu berkata sambil menggoreng heikeng selanjutnya. Pekerjaan yang kerap kali ia lakukan setiap minggu.
"Apa??? Ya, berarti Mia lagi dong, Bu. Ah males ah Bu," Mia bersungut-sungut. Usahanya kini gagal total.
"Kenapa sih ndok, cuma nganterin aja kok susah banget," celetuk Ayah yang muncul dari pintu belakang.
"Ayah tuh gak ngerti Yah, setiap Mia anter heikeng kesana pasti Helmi yang keluar. Dia lagi, dia lagi."
"Bagus dong, supaya kamu bisa berteman sama dia ndok, ayah gak pernah lihat kamu punya teman di komplek sini." Ayah berkomentar lagi.
"Wajarlah Yah, kan di komplek ini gak ada yang sebaya dengan Mia, ya ada pun cuma Helmi, ah males!!!"
"Kalo bukan kamu siapa lagi yang anter, Mia?" Kini mata ibu membeliak tajam memelototi Mia.
"Iya deh, iya deh!!!"
Mia tahu hanya butuh satu menit waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke rumah Helmi. Rumah Helmi tepat berada di sebelah kiri rumahnya. Hanya dengan sederet pagar tanaman yang menjadi batas antara rumah mereka. Namun, Mia kian memperlambat langkah kakinya. Setiap langkah di kakinya ia buat mengecil. Tapi selama apapun ia berjalan tetap saja ia harus mengantar sepiring heikeng kerumah Helmi. Mia tiba di muka pintu berukiran khas Jawa ini. Tanpa disuruh hidungnya dengan sigap mengambil udara sedalam mungkin sebelum akhirnya mengucapkan salam.
"Assalamualaikum..." Sesekali Mia mengerjapkan mata. Kemudian, ia melirik sepiring heikeng yang masih hangat di kedua tangan mungilnya itu.
"Waalaikumsalam, eh Mia, ayo silahkan masuk, pasti nganterin heikeng ya, aduh Mia repot-repot deh." Suara yang berbeda. Orang yang berbeda pula. Kali ini mamanya Helmi keluar.
"Gak papa kok Tan, kan udah tradisi tiap minggu." Jarang sekali Mia rasakan tiap hari Minggu bibirnya melengkung sesempurna ini.
"Oh ya, tunggu sebentar ya tante cuci piringnya dulu."
"Oke, tante."
Mia cukup tenang pagi ini karena tidak ada yang menjatuhkan serangan nuklir di hatinya. Namun, setitik hati Mia menyumbangkan sejumlah pertanyaan. Tumben, dia tak ada. Oh mungkin masih tidur, tapi kan ini jam 10. Bukannya Helmi itu rajin olahraga ya?
Tanpa sengaja mata Mia membidik sesuatu di samping kanannya. Pigura berukuran sedang itu memuat sebuah wajah dengan memegang piala yang mungkin berukuran setengah dari tinggi badan pemilik wajah itu. Disana bertuliskan Juara 1 Badminton Pelajar Putra Tingkat Kota Jakarta 2011. Disebelahnya juga terdapat sebuah pigura memuat sederet wajah memakai baju bernomor. Namun, tak ada tulisan apapun disana.
"Itu, Helmi waktu menang lomba bulu tangkis di Jakarta, kalau yang disebelahnya itu team basket sekolah Helmi waktu SMP." Mamanya Helmi muncul dari balik sekat.
"Ehm,Helmi suka olahraga ya Tan?" Entah apa yang membuat Mia bertanya seperti itu. Dirinya pun tak tahu.
"Iya, nurun dari papanya, oh ya nih piringnya Mia udah tante cuci."
"Oh ya udah Mia pulang dulu ya Tante."
Ada sesuatu menyelinap di balik hati Mia. Sampai-sampai membuat lidah Mia ingin melontarkan kata-kata yang sebenarnya berat untuk ia tanya. Tapi, lidahnya kelu. Bukankanh bertanya tentang keberadaan Helmi adalah sesuatu yang paling tidak penting pikirnya.
"Oh ya Mia, hampir tante lupa, ada titipan dari Helmi, tunggu sebentar ya." Mamanya Helmi kembali berlalu.
Mia tercenung sejenak. Helmi menitipkan sesuatu padanya? Bagaimana bisa?
"Nih ada surat buat kamu dari Helmi, Helmi itu ada-ada saja Mia, udah zaman sms malah pake surat." Mamanya Helmi terkekeh kecil.
Mia terkesiap melihat surat putih terikat pita biru itu. Dirinya seakan belum percaya Helmi menitip surat padanya. Apa isinya ya, gumamnya dalam hati.
"Tenang aja, tante belum buka kok, ini emang khusus buat kamu dari Helmi, oh ya Helmi emang lagi gak ada dia lagi pergi tanding basket ke Jakarta sama teman-temannya, mungkin tiga minggu lagi baru pulang."
Mia merasa beruntung. Tidak perlu lagi ia letih membuang suaranya bertanya tentang keberadaan Helmi. Namun, ia punya waktu yang lebih penting. Membaca surat yang kini hinggap di tangannya. Secepat kilat ia bergegas pulang. Sementara, Yeni mamanya Helmi tersenyum dibalik gorden melihat kelakuan anak gadis ini.
***
Mia masih menimang-nimang segulung surat dari Helmi itu. Surat itu benar-benar membuat ia lupa dengan sepiring heikeng yang telah tersaji di dapur. Bahkan, berkali-kali sang ayah harus memanggil nama anak gadis pertamanya ini. Ia tahu anak gadisnya ini tidak pernah melakukan apapun sebelum melahap heikeng buatan istri tercintanya.
Mia duduk di meja belajarnya. Kadang ia cemberut. Kadang ia tersenyum. Ia tahu betapa Helmi telah sering membuatnya kesal dan betapa Helmi pernah membuatnya jatuh cinta. Dan laki-laki itu kini menulis surat untuknya. Pelan-pelan ia buka surat itu.
Dear Mia,
Kamu pasti kaget ya dapat surat dari aku pagi ini. Ya aku tahu, agak sedikit norak untuk nulis surat zaman sekarang. Tapi, gimana mungkin aku mau sms kamu, nomor handphone kamu aja aku nggak punya. Oh ya, Mia aku tahu pagi ini kamu udah ngantarin sepiring heikeng buat keluargaku dan yang nerima pasti mamaku. Bener kan?
Iya aku tahu selama ini memang aku yang selalu nerima sepiring heikeng dari kamu. Kamu pasti jengkel? Tapi, aku mohon jangan lama-lama ya jengkelnya. Hehehe, perlu kamu tahu, aku yang selalu minta sama mamaku agar aku yang nerima sepiring heikeng dari kamu. Setiap minggu aku selalu nunggu kamu dibalik kaca riben rumahku. Kamu nggak tahu, kan? Sayangnya pagi ini kamu telat nganterin heikengnya, aku udah keburu berangkat ke Jakarta jam setengah 7 pagi tadi.
Tapi nggak apa-apa kok. Itu artinya udah yang ke 85 kali kamu kasi sepiring heikeng buat keluargaku. kamu pasti gak pernah ngitung berapa kali kamu nganter sepiring heikeng kerumahku, kan? Kurang kerjaan juga. Itu artinya untuk yang ke 88 kali berarti kamu harus 3 kali lagi nganterin sepiring heikeng kerumahku. Jujur aku suka sekali dengan angka 8. Oh ya, aku ingin kita ketemu lagi saat ke 88 kalinya kamu nganter sepiring heikeng kerumahku. Aku pasti udah pulang kerumah kok. Soalnya ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu. Dan ini menyangkut HATI.
Salam,
Cowok Bertanggal Lahir 08-08-98
(085252080898)
Mia biarkan kedua sudut di pipinya itu tertarik indah. Teriak ayahnya sanggup mengalahkan hatinya yang berbunga-bunga. Perasaanya kian berdebar. Namun, debarnya hari ini pasti kalah dengan debar hatinya tiga minggu yang akan datang.
***